Kita tidak bisa memilih dari
pasangan orangtua mana kita dilahirkan, bagaimana latar belakang keluarganya
atau riwayat sakit apa yang juga dideritanya. Singkat cerita, saya adalah anak
dari seorang ibu yang memiliki riwayat penyakit asma.
Penyakit asma ini bukan
ditularkan. Karena asma bukanlah penyakit menular, tapi yang saya dapatkan dari
ibu saya adalah genetik. Kemungkinannya bisa sangat besar jika salah satu
orangtua kita menderita penyakit ini maka anaknya bisa pula mewarisi.
Saya punya 2 saudar kandung. 1
kakak laki-laki dan 1 lagi adik laki-laki. Beruntung keduanya tidak mendapatkan
warisan penyakit tersebut, hanya saya saja anak perempuan satu-satunya di
keluarga kami yang juga mengidap asma.
Kesal? Tidak juga. Menurut saya
hidup dengan menderita penyakit ini merupakan anugerah tersendiri buat saya.
Karena saya jadi begitu mengerti bahwa sehela nafas kecil saja sangat berarti.
Bahwa memang benar hal sekecil ini dapat berpengaruh pada seluruh fungsi organ
tubuh yang lain. Atau lebih sederhana lagi, saya katakan bahwa saya dapat
begitu dekat merasakan bagaimana kematian itu lewat penyakit asma yang saya
derita.
Saya akan bercerita dari awal bagaimana saya bisa mengidap
penyakit asma ini. Saya harap pembaca tidak bosan membaca tulisan ini.
Saat saya masih kecil, saya memang
sering sakit-sakitan. Maag jadi teman setia saya saat masa kelas 1 SD. Benar,
kelas 1 SD saya sudah mengidap maag kronis (kronis berbeda dengan akut ya; saya
jelaskan di akhir cerita ini, ok?) jadi orangtua saya sering bolak-balik dokter untuk pengobatan saya. Tapi bukan berarti
saya lemah (sistem imun) maag yang saya alami adalah karena saya memang tidak
suka makan. Saya bisa membuang semua makanan selama 3 hari berturut-turut tanpa
se pengetahuan orangtua saya.
Sampai suatu ketika menginjak kelas 3 SD saya
kembali sakit. Samar-samar saya ingat waktu itu sakit yang saya alami bukan
karena masalah pencernaan. Tapi dada saya tiba-tiba terasa sakit, sesak,
seakan-akan dada saya sedang diikat sekencang-kencangnya hingga saya tidak
mampu bernafas secara baik, apalagi berbicara. Yang saya bisa lakukan hanya
reflek mulut yang terbuka, menganga mencoba mengambil nafas lewat mulut.
Orangtua saya membawa saya ke
dokter langganan saya, namun kali itu
dokter tersebut menyarankan saya untuk datang ke dokter lain. Lalu
orangtua saya membawa saya ke satu rumah sakit di Kota Cirebon. Disana saya
bertemu dengan dokter yang saya tau betul bahwa beliau adalah dokter yang
biasanya menangani ibu saya saat asma beliau kambuh. Ya saya sudah tau bahwa
ibu saya mengidap asma, saya sering melihat ibu saya kesakitan sulit bernafas
dan saat sudah merasa tak kuat lagi menahan sakit, beliau pergi ke rumah sakit,
masuk ke ruang khusus lalu hidung dan mulutnya dipakaikan alat aneh yang
terlihat seperti beruap sembari di suntikkan beberapa jarum di pembuluh darah
ibu saya.
Jujur saja untuk ukuran anak
sekecil saya waktu itu, saya takut tapi untungnya saya hanya di ajak ngobrol
sebentar dan di periksa seperti pada umumnya. Setelah itu dokter tersebut
berbicara dengan ibu saya. Saya tidak begitu paham namun yang saya dengar
adalah bahwa penyakit asma ibu saya agaknya menurun pada anak perempuannya
yaitu saya.
Sejak dokter memberikan vonis
asma terhadap saya, orangtua saya seakan memberikan saya ekstra perhatian. Ya
perhatian dalam hal kasih sayang juga perhatian dalam hal kedisiplinan. Ayah
saya yang seorang polisi, memaksa saya ikut les renang. Saat kelas 4 SD saya
sudah mahir melakukan gaya bebas. Setiap hari minggu adalah hari dimana saya
les renang dari jam 8 pagi sampai jam 1 siang. Les itu semua saya lakukan
sampai menginjak kelas 6 SD.
Saat saya lelah dan ngambek ingin
berhenti ayah saya pasti memarahi saya. Saat catatan waktu saya lambat beberapa
detik, hukuman menahan nafas dalam air selama 1 menit akan diberikan. Mungkin
bagi kalian 1 menit itu mudah. Tapi bagi pemilik nafas pendek seperti saya,
dalam hitungan setengahnya saja kepanikan sudah mulai menjalar di kepala saya.
Saat panik, otak jadi kehilangan konsentrasi sehingga kemungkinan buruk bisa
saja terjadi.
Tidak hanya itu saja. Setiap hari
saya tidak boleh makan-makanan tertentu yang memicu atau bersifat alergan
karena salah satu pemicu terjadinya asma adalah alergi. Saya tidak bisa makan
seafood karena saya pun alergi seafood. Kemudian saya tidak bisa terpapar suhu
terlalu dingin atau terlalu panas. Lebih anehnya lagi, setiap saya (mungkin)
terlalu banyak pikiran seperti stres mikirin mau ujian kenaikan kelas, saya
pasti drop dan asma itu kambuh lagi. Kenapa penyakit yang saya derita kok ya
pemicunya sederhana sekali? Aneh tapi memang begitu adanya.
Sampai menginjak bangku SMP, asma
saya masih saja sering kambuh. Saya suka olahraga, saya suka berlari, tapi
karena kapasitas nafas saya tak sebaik yang lain terutama rival lari saya yang
adalah anak basket, saya harus pintar menjaga kestabilan nafas saat berlari.
Tetap saja saya selalu kalah dengan dia, hehe. Sampai suatu saat saya pernah
membuat geger satu sekolah saat upacara bendera. Asma saya kambuh, saya kejang
beberapa menit, kemudian pingsan. Bonus pingsannya nubruk tiang basket (kepala
saya pula yang nubruk) malu se-malu malunya saat tau cerita tersebut dari
teman-teman saya. Dan saya pun mendapat oleh-oleh jidat yang benjol dan merah
sebesar biji salak. Beberapa ada yang bersimpati beberapa ada juga yang
mengejek. Yah biasa..
Namun entah sejak kapan mungkin
saat masuk SMA kelas 11, perlahan saya jadi jarang sakit. Bahkan saya sering
begadang semalam suntuk mengerjakan tugas dan jarang berolahraga lagi tapi
kesehatan saya baik-baik saja. Saya bersyukur sudah tidak sesering dulu lagi
asma ini kambuh. Saya jadi bisa bebas kesana kemari, lari-larian lebay dan
aktifitas berat seperti naik gunung. Yes saya suka climbing loooh hehe. Sempat agak
khawatir ibu saya, tapi karena saya sudah jarang kambuh akhirnya ibu saya
mengijinkan saya mendaki walau tetep agak rempong.
Hidup dengan memilik penyakit
asma membuat saya harus selalu membawa inhaler. Obat khusus untuk pengidap asma
yang lebih cepat efeknya daripada obat minum (oral). Hampir selalu ada dalam
tas saya. Benda kecil berwarna biru ke abu-abuan ini bisa jadi penolong saya
saat asma saya mulai menyerang.
Ventolin Inhaler |
Namun adakalanya inhaler ini tidak bisa membantu. Asma itu egois, dia seperti mood seorang perempuan. Kalau lagi bagus mood nya, gejalanya bisa langsung ditangani dan tidak akan berlanjut lagi. Tapi kalau mood nya lagi jelek, jangankan inhaler, pemberian obat secara oral pun dirasa kurang efektif. Cara terakhir hanya pengasapan dengan nebulizer yang berisi obat khusus dalam ukuran mikro sehingga bisa langsung mencapai dosis yang diinginkan. Dan ini memerlukan biaya lebih. Sekali dilakukan pengasapan bisa menghabiskan biaya 300ribu belum termasuk obat yang harus di tebus. Luar biasa bukan?
Setelah dilakukan pengasapan
tubuh baru merasakan efek pada saat asma yang tadi kambuh. Maksudnya begini,
saat asma kambuh otomatis bernafas menjadi sulit. Dada terasa sesak dan kita
berusaha sekuat mungkin menahan rasa sakit tersebut. Nah setelah asmanya
selesai, baru akan terasa tubuh menjadi sakit dan linu-linu juga lemas. Yah
seperti habis menahan beban yang sangat berat.
Bagaimana dengan perasaan saat
asma itu kambuh? Bagaimana menjelaskannya ya? Coba saja kalian tahan nafas
kalian selama sebisa mungkin sampai kalian sudah tidak sanggup menahan lagi
tapi jangan bernafas dari hidung, bernafaslah dari mulut tetaplah seperti itu.
Terasa kan bagaimana sakitnya? Haha jangan-jangan beneran di praktekin nih.
Bagi penderita asma, kami dituntut
untuk mengenal tubuh kami dengan baik. Menyayangi penyakit yang kami miliki
bukan malah membenci. Karena penyakit ini tak bisa disembuhkan secara total
artinya penyakit ini tidak dapat benar-benar hilang seumur hidup hanya saja
frekuensi kambuhnya bisa di kendalikan dengan mengenal faktor-faktor yang memicu
kambuhnya penyakit ini. Makanya saya sangat aware dengan keadaan polusi
sekarang. Sampai sekarang saya jarang kambuh asma lagi namun saya khawatir
karena udara di kota saya semakin hari semakin memburuk dan tidak menyehatkan.
Semoga saya tetap bisa sehat hidup bersama penyakit ini.
Jadi untuk kalian yang punya asma
juga sama seperti saya, saya harap kalian tidak membenci penyakit ini. Juga
jangan sampai menyalahkan orangtua kalian yang mewariskan penyakit ini.
Bukankah kalian juga sama-sama menderita saat asma datang menyerang? Bersyukur
lah hidup dengan ujian seperti ini karena suatu saat kita juga tidak akan
bernafas lagi toh, jadi bersyukur saja walau hanya mendapatkan nafas yang
“setengah” ini.
Oh ya seperti yang sudah saya
ceritakan, soal kedisiplinan dari ayah saya. Saya tidak membenci perlakuannya
terhadap saya. Saya malah sekarang bersyukur karena beliau, sekarang saya
pintar berenang. Mungkin dari berenang saya bisa sedikit demi sedikit terbebas
dari serangan asma yang sering saya alami. Saya tumbuh jadi perempuan yang
tidak manja dan banyak bergerak. And I do love it so much. Hidup saya banyak
diwarnai dengan petualangan yang sangat menyenangkan.
Enough for this article today.
Thanks for reading. ♥
NB : I promise you to explain the differences between Akut
and Kronis. Jadi Akut itu adalah istilah saat suatu penyakit datang menyerang
secara tiba-tiba dan langsung pada level yang tinggi. Yang notabene nya tidak
pernah dirasakan sebelumnya oleh penderita. Sedangkan Kronis adalah kondisi
suatu penyakit yang menyerang seseorang dengan skala yang cenderung rendah
namun semakin lama akan semakin parah. Biasanya penyakit kronis akan datang
lagi dan lagi, berulang dan memang sudah lama terjadi.
Contoh:
Maag akut : penderita belum
pernah/tidak memiliki riwayat sakit maag, tiba-tiba merasa sakit dengan gejala
yang bisa saja tidak terasa atau bahkan gejala yang hebat.
Maag kronis : penderita mengalami
peradangan lambung dalam waktu yang lama yang semakin lama akan menjadi semakin
parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar