Masih sangat membekas di ingatan kita kasus viral seorang anak yang menggugat ibu kandungnya sendiri sebesar uang berjumlah miliyaran rupiah yang terjadi baru-baru ini. hal tersebut tampaknya banyak mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Entah apa yang ada dalam benak dan kepala orang tersebut hingga tega menggugat ibu kandungnya sendiri sampai menyeretnya ke pengadilan, membuat tubuh rentanya yang lemah semakin terbebani dengan beban mental yang begitu berat.
Apalah daya
seorang wanita paruh baya yang sudah di dzalimi sedimikian rupa oleh darah
dagingnya sendiri, namun Ia tak mungkin sanggup untuk tidak memaafkan perbuatan
seburuk apapun yang ia terima dari anaknya.
Begitulah sosok
Ibu yang baik. Seorang ibu pasti memaafkan anaknya. Namun pernahkah terpikirkan
oleh kita bahwa luka yang sudah kita goreskan dalam hatinya tetap ada dan
membekas. Walau begitu ia hidup dengan tegar menerima luka yang di deritanya
sampai seumur hidup.
Seperti itu kah
balasan terhadap orang yang menjaga kita dari sejak kita masih seoonggok daging
hingga dewasa beranjak menikah.
Bagaimana kalau
di kalkulasikan seberapa besar pengorbanan yang orangtua kita pernah lakukan
untuk anaknya? Jika soal materi aka.uang, seberapa banyak uang yang ia
keluarkan saat mengetahui dirinya hamil dan harus menjaga asupan makanan
terbaik untuk anaknya? Biaya dokter, biaya persalinan, lalu pakaian dan makanan
pendamping asi, biaya kesehatan anak, pendidikan selama lebih dari 12 tahun,
makanan sehari-hari, belum lagi transport, atau hal semacam rekreasi. Dari sejak
anaknya berumur bulanan sampai 20 tahun an.
Kita tidak tahu
berapa banyak yang pernah ia keluarkan, berapa banyak hutangnya di sana sini. Namun
ia tidak pernah mengharapkan apa yang ia keluarkan akan dikembalikan. Mana ada
orangtua yang mengumpulkan nota-nota pembelian ini itu, di koleksi, lalu suatu
hari akan dihitung jumlahnya dan anaknya di minta menebus sejumlah yang pernah
di keluarkan. Mana mungkin orangtua yang baik melakukan hal tersebut.
Kalau sudah
begitu, siapa disini yang tidak tahu diri? Apa ini yang disebut durhaka? Bisakah
kita menjawab sendiri pertanyaan itu dalam hati?
Ada lagi kasus
berbeda namun masih berhubungan dengan sosok wanita. Seorang mahasiswi yang menumpahkan
kekesalannya akan ibu hamil di KRL. Ia menuliskan dalam sosial media nya
tentang kekesalannya yang tidak ikhlas memberikan tempatnya duduk untuk seorang
ibu hamil.
Nampaknya emosi
bisa membuat kita bertindak tidak berhati-hati dan cenderung bodoh. Menjaga lisan
saja tidak cukup di jaman modern seperti ini, kita juga perlu menjaga
jari-jemari dari maksiat menuliskan kata-kata cacian yang tidak pantas atau
kalimat emosionil yang cenderung menimbulkan banyak masalah.
Masalahnya adalah
kenapa begitu tidak ikhlasnya memberikan kursi untuk ibu yang sedang hamil? Ya mungkin
dia punya alasan tersendiri. Tapi bagaimana pun dari sudut yang terbaca, saya
sebagai orang sok tahu merasa akan sangat ikhlas memberikan kursi yang saya
duduki untuk orang-orang yang di prioritaskan. Tidak hanya difable atau
orang-orang tua saja, menurut saya, orang-orang prioritas adalah orang-orang
yang jika tidak diberikan hak nya lebih dulu akan mengalami banyak kesulitan.
Contohnya begini.
Ada anak-anak dan hanya berdiri di angkatan umum kita tahu bahwa anak-anak
lebih lemah dan khawatir mengalami stres, sedangkan saya yang masih segar dan
sehat jelas lebih kuat dari anak tersebut tidak mau memberikan kursi saya
duduk. Atau ada seorang kakek/nenek, bisa juga ibu hamil. Bahkan bisa pula
orang sebaya, namun ia sedang dalam kondisi yang tidak baik (sakit). Maka bagi
saya mereka adalah prioritas.
Kenapa begitu
sulit berbuat hal kecil seperti itu di masa sekarang? Apa saat ini banyak orang
berpendidikan baik yang mengalami degradasi mental? Ini bukan soal teori tapi
soal hati nurani. Apa kita sudah tidak memiliki hati nurani karena dikalahkan
oleh ego dan teori yang biasa “di kambing hitamkan” oleh kita hanya untuk pembelaan
diri semata. Kita tinggal di negara Indonesia. Yang orangnya ramah-ramah,
tinggi toleransi dan tenggang rasa. Apa hal tersebut hanya ada dalam lirik lagu
saja?
Yang saya
sebutkan hanya secuil contoh yang terjadi di negara ini. Belum lagi kasus-kasus
lain atau bahkan pengalaman pribadi yang pernah kita alami.
Sebagai wanita
yang katanya mahluk perasa, kenapa tiba-tiba jadi heartless bahkan kepada
sesama wanita. Kita juga dilahirkan dari rahim seorang wanita. Alangkah indahnya
jika saling memahami dan menghargai, bukan?
Kalau sudah
seperti ini, malukah kita untuk berangan-angan suatu hari nanti ingin memiliki
putra-putri yang berbakti pada kita. Ya kita seorang wanita yang tidak mewanita
kan wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar