Senin, 19 Juni 2017

WANITA MAKHLUK PERASA YANG TAK BERPERASAAN PULA TERHADAP WANITA



Masih sangat membekas di ingatan kita kasus viral seorang anak yang menggugat ibu kandungnya sendiri sebesar uang berjumlah miliyaran rupiah yang terjadi baru-baru ini. hal tersebut tampaknya banyak mendapat simpati dari berbagai kalangan.

Entah apa yang ada dalam benak dan kepala orang tersebut hingga tega menggugat ibu kandungnya sendiri sampai menyeretnya ke pengadilan, membuat tubuh rentanya yang lemah semakin terbebani dengan beban mental yang begitu berat.


 Apalah daya seorang wanita paruh baya yang sudah di dzalimi sedimikian rupa oleh darah dagingnya sendiri, namun Ia tak mungkin sanggup untuk tidak memaafkan perbuatan seburuk apapun yang ia terima dari anaknya.

Begitulah sosok Ibu yang baik. Seorang ibu pasti memaafkan anaknya. Namun pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa luka yang sudah kita goreskan dalam hatinya tetap ada dan membekas. Walau begitu ia hidup dengan tegar menerima luka yang di deritanya sampai seumur hidup.

Seperti itu kah balasan terhadap orang yang menjaga kita dari sejak kita masih seoonggok daging hingga dewasa beranjak menikah.

Bagaimana kalau di kalkulasikan seberapa besar pengorbanan yang orangtua kita pernah lakukan untuk anaknya? Jika soal materi aka.uang, seberapa banyak uang yang ia keluarkan saat mengetahui dirinya hamil dan harus menjaga asupan makanan terbaik untuk anaknya? Biaya dokter, biaya persalinan, lalu pakaian dan makanan pendamping asi, biaya kesehatan anak, pendidikan selama lebih dari 12 tahun, makanan sehari-hari, belum lagi transport, atau hal semacam rekreasi. Dari sejak anaknya berumur bulanan sampai 20 tahun an.


Kita tidak tahu berapa banyak yang pernah ia keluarkan, berapa banyak hutangnya di sana sini. Namun ia tidak pernah mengharapkan apa yang ia keluarkan akan dikembalikan. Mana ada orangtua yang mengumpulkan nota-nota pembelian ini itu, di koleksi, lalu suatu hari akan dihitung jumlahnya dan anaknya di minta menebus sejumlah yang pernah di keluarkan. Mana mungkin orangtua yang baik melakukan hal tersebut.

Kalau sudah begitu, siapa disini yang tidak tahu diri? Apa ini yang disebut durhaka? Bisakah kita menjawab sendiri pertanyaan itu dalam hati?

Ada lagi kasus berbeda namun masih berhubungan dengan sosok wanita. Seorang mahasiswi yang menumpahkan kekesalannya akan ibu hamil di KRL. Ia menuliskan dalam sosial media nya tentang kekesalannya yang tidak ikhlas memberikan tempatnya duduk untuk seorang ibu hamil. 


Nampaknya emosi bisa membuat kita bertindak tidak berhati-hati dan cenderung bodoh. Menjaga lisan saja tidak cukup di jaman modern seperti ini, kita juga perlu menjaga jari-jemari dari maksiat menuliskan kata-kata cacian yang tidak pantas atau kalimat emosionil yang cenderung menimbulkan banyak masalah.

Masalahnya adalah kenapa begitu tidak ikhlasnya memberikan kursi untuk ibu yang sedang hamil? Ya mungkin dia punya alasan tersendiri. Tapi bagaimana pun dari sudut yang terbaca, saya sebagai orang sok tahu merasa akan sangat ikhlas memberikan kursi yang saya duduki untuk orang-orang yang di prioritaskan. Tidak hanya difable atau orang-orang tua saja, menurut saya, orang-orang prioritas adalah orang-orang yang jika tidak diberikan hak nya lebih dulu akan mengalami banyak kesulitan.


Contohnya begini. Ada anak-anak dan hanya berdiri di angkatan umum kita tahu bahwa anak-anak lebih lemah dan khawatir mengalami stres, sedangkan saya yang masih segar dan sehat jelas lebih kuat dari anak tersebut tidak mau memberikan kursi saya duduk. Atau ada seorang kakek/nenek, bisa juga ibu hamil. Bahkan bisa pula orang sebaya, namun ia sedang dalam kondisi yang tidak baik (sakit). Maka bagi saya mereka adalah prioritas.


Kenapa begitu sulit berbuat hal kecil seperti itu di masa sekarang? Apa saat ini banyak orang berpendidikan baik yang mengalami degradasi mental? Ini bukan soal teori tapi soal hati nurani. Apa kita sudah tidak memiliki hati nurani karena dikalahkan oleh ego dan teori yang biasa “di kambing hitamkan” oleh kita hanya untuk pembelaan diri semata. Kita tinggal di negara Indonesia. Yang orangnya ramah-ramah, tinggi toleransi dan tenggang rasa. Apa hal tersebut hanya ada dalam lirik lagu saja?

Yang saya sebutkan hanya secuil contoh yang terjadi di negara ini. Belum lagi kasus-kasus lain atau bahkan pengalaman pribadi yang pernah kita alami.

Sebagai wanita yang katanya mahluk perasa, kenapa tiba-tiba jadi heartless bahkan kepada sesama wanita. Kita juga dilahirkan dari rahim seorang wanita. Alangkah indahnya jika saling memahami dan menghargai, bukan?

Kalau sudah seperti ini, malukah kita untuk berangan-angan suatu hari nanti ingin memiliki putra-putri yang berbakti pada kita. Ya kita seorang wanita yang tidak mewanita kan wanita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar